Mendung

Sesekali rintik itu jatuh,
Mencumbu bumi.
Mengisi ceruk ceruk jalan.

Lalu langit abu-abu mulai bernyayi.
Melafalkan doa untuk bumi.

Doa yang berbeda.
Kalimat syukur yang berbeda.
Air mata yang berbeda.

Karena mendung itu tak pernah sama.
Mendungku, mendungmu, mendung mereka.
Seperti rasa yang tak pernah sama.

Sedihmu tak pernah bisa kupahami.
Seperti puisi yang ditulis dengan keringatmu, yang tak seorang pun mampu membacanya.
Hanya hatimu dan Tuhanmu yang tahu.
Sedang aku?
Sesungguhnya aku tak mampu menghapus sedihmu.
Karena rasamu tak akan pernah benar-benar terpahami, oleh siapapun itu.

Kudus, 7 Desember 2016
di pagi yang mendung.
Untukmu yang kucintai.
Category: 0 komentar

Hujan Malam Ini

Selamat malam hujan,
Aku menantimu di tengah lipatan malam.
Ah, ternyata kau masih tetap sama.

Rintikmu masih gemercik memecah kesenduan malam.
Kau tahu, terkadang saat kau datang aku diam-diam menyimpan rasa.
Rasa akan kenangan kecil yang pernah ada.
Rasa akan harapan indah di masa depan.
Rasa akan perenunganku saat ini.

Selamat malam hujan,
Semoga rintikmu mampu membersihkan segala yang menyumbat angan.
Melancarkan setiap mimpi menuju sebuah kenyataan.

Kudus, 14 November 2016
Category: 0 komentar

Sepi


Sepi.
Kata yang hadir dalam sebuah kekosongan
Melumat kehampaan dalam sebuah ruang tanpa batas
Tapi sendiri tak berarti sepi
Semua punya kesepiannya sendiri
Bahkan ibukota yang ramai punya sudut-sudut sepinya
Siang yang padat punya senja yang sepi
Tapi malam yang sepi punya gemerlap cahaya yang ramai
Ya, sepi itu hanya rasa
Rasa yang sama tapi dicecap dengan lidah yang berbeda
Seperti permen kopi yang terasa nikmat dilidah para pekerja lembur, tapi terasa pahit di lidah anak kecil yang menjajalnya
Bagiku, sepi adalah kawan yang mengajarkan banyak hal
Mengajarkan sebuah ide
Mengajarkan sebuah perenungan
Mengajarkan sebuah asa

Kudus, 7 November 2016
Category: 0 komentar

Peran Teknologi Informasi dalam Dunia Bisnis

 
Dewasa ini, penggunaan teknologi tidak luput dalam kehidupan manusia. Semua kemudahan ditawarkan melalui teknologi. Semua transaksi kini dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja. Mulai dari membayar semua tagihan baik berupa tagihan telepon, internet, tv berbayar, listrik, pam sampai berbelanja kebutuhan sehari-hari, pakaian, dan lain sebagainya. Hal ini tentu memberikan pengaruh yang cukup besar pada dunia bisnis. Konsumen yang ingin serba cepat dan mudah menimbulkan perubahan permintaan yang harus disikapi dengan mengubah penawaran dari para pelaku bisnis tersebut.

Dunia bisnis saat ini dituntut untuk bisa menawarkan produk-produk berkualitas dengan pelayanan yang tidak dibatasi oleh tembok pabrik / toko. Melalui teknologi, bisnis dapat menjangkau konsumen di seluruh dunia. Calon pembeli dapat melihat deskripsi produk berikut foto produknya melalui dunia maya. Kemudian, jika calon pembeli tertarik untuk membeli bisa melakukan transaksi melalui internet, salah satu contohnya adalah dengan menggunakan mobile banking. Perdagangan secara elektronik ini dikenal sebagai E-Commerce (e-dagang). E-Commerce adalah perdagangan menggunakan jaringan komunikasi internet. E-commerce merupakan bagian dari e-business, di mana cakupan e-business lebih luas, tidak hanya sekedar perniagaan tetapi mencakup juga pengkolaborasian mitra bisnis, pelayanan nasabah, lowongan pekerjaan dan lain-lain.


Nah, dari paparan di atas dapat dilihat bahwa peran teknologi informasi dalam dunia bisnis meliputi :

Mempermudah Komunikasi
Dengan adanya internet, komunikasi bisnis dapat dilakukan melalui e-mail yang relatif lebih murah dibanding dengan mengirim melalui surat konvensional. E-mail juga bisa untuk mengirim file dokumen dan gambar dengan lebih cepat. Untuk pelaku bisnis online, bisa juga menggunakan sosial media untuk promosi lalu menggunakan fitur chatting untuk berkomunikasi dengan pelanggan.

Penyimpana Data yang Lebih Baik
Jika cara penyimpanan konvensional membutuhkan tempat yang cukup banyak guna menyimpan file, teknologi dan internet menawarkan penyimpanan yang lebih praktis dan aman. File bisnis dapat disimpan di komputer maupun Dropbox atau iCloud yang menawarkan penyimpanan virtual yang aman karena dilengkapi dengan password.

Tidak Terbatas Ruang dan Waktu
Seperti yang sudah saya paparkan di atas, teknologi membuat jam kerja para produsen atau toko online menajadi 24 jam. Jam berapapun konsumen dapat melakukan transaksi, tidak lagi dibatasi oleh jam tutup toko. Konsekuensinya, penjual yang baik harus siap membalas chat dari calon pembeli jam berapapun itu.

Mengurangi Biaya
Dengan membuat toko online, penjual tak lagi harus mengeluarkan banyak biaya untuk mendirikan toko di dunia maya. Tak sedikit toko online yang tak memiliki toko fisik di dunia nyata. Toko online saat ini juga menawarkan sistem dropship atau menawarkan produk orang lain kepada konsumen tanpa memiliki persediaan. Jika ada konsumen yang berminat, penjual cukup menghubungi toko yang memiliki barang tersebut dan toko itu yang akan mengirim ke alamat pembeli. Hal ini tentu dapat menekan biaya sewa bangunan toko, biaya persediaan, biaya pegawai, dan lain sebagainya.

Mempermudah Kegiatan Promosi
Kegiatan promosi atau mengiklankan suatu produk saat ini tidak lagi membutuhkan banyak biaya dan tenaga. Tak perlu lagi menyebar brosur di jalanan, memasang iklan di koran atau di pinggir jalan yang tentu memerlukan banyak biaya. Cukup memosting produk di media sosial maka produk tersebut sudah bisa dilihat oleh banyak orang.

Sumber :
http://tulisbaca.com/apa-saja-peran-teknologi-informasi-dalam-bisnis-yuk-baca-ini/
http://latifwindar.blog.st3telkom.ac.id/2015/12/02/peranan-teknologi-informasi-dengan-dunia-bisnis/
https://maulanaarismaya.wordpress.com/2016/03/21/peranan-teknologi-informasi-dan-komunikasi-dalam-bisnis/

Cerita Tentang Rasa

Rasa manis merupakan salah satu rasa yang disukai semua kalangan, baik orang tua maupun anak muda. Hal itu tentu membuat makanan bercitarasa manis menjadi begitu populer. Rasa manis biasanya identik dengan hidangan penutup atas dessert. Dewasa ini, makanan penutup mulai disajikan dengan begitu kreatif. Salah satunya es krim dengan topping buah, stik stroberi, dan mochi yang berbentuk kucing ini. Jadi gak tega kan makannya.

Untuk rasa es krimnya kebetulan saya pilih yang rasa vanila, selain vanila juga tersedia rasa lain seperti rasa teh hijau yang akhir-akhir ini sedang naik daun. Cuma berhubung saya gak terlalu suka rasa teh hijau jadi saya pilih rasa vanila. Rasanya cukup umum seperti rasa es krim vanila pada umumnya. Bintang utamanya memang pada mochinya yang berbentuk kucing. Teksturnya cukup lembut dengan isian kacang yang manisnya pas banget.

Nama menu : Pussylicious
Tempat         : Cafe Milky Bean, Pantai Indak Kapuk, Jakarta
Harga           : 80K (versi aplikasi zomato karena sudah lupa dulu pas bayar harganya berapa, hehe)


Category: 0 komentar

Cinta untuk Sang Camar


Di tempat aku ada, aku hanyalah seekor burung camar. Terbang di atas ombak yang indah bergulung, menari di tengah samudera yang tenang. Menyaksikan matahari yang telah tua hingga berganti rembulan muda. Bersembunyi ketika tetes-tetes hujan bercumbu dengan bumi. Aku hidup meliar. Aku pergi kemana pun angin membawa. Aku hidup sampai masa memanggilku.

Namaku Lea.

Lautan adalah hidupku. Ombak yang tak pernah lelah berkejaran telah lama menjadi sahabatku. Aku selalu bercerita padanya, meski aku tak pernah mendengar jawabnya. Tapi aku bisa merasakan, merasakan kehadirannya. Meski itu hanya ilusi. Ah, apalah bedanya ilusi dengan kenyataan ? Mimpi adalah hidupku dan kenyataan adalah tidurku. Aku punya duniaku sendiri, dunia yang berbeda dari yang telah ada. Aku suka pergi ke tempat di mana aku tidak ada. Aku suka menyendiri, tenggelam dalam ilusiku, bernaung pada khayalanku. Aku suka berwisata ke tempat-tempat yang bahkan aku tidak tahu apakah tempat itu benar-benar ada. Tapi aku menikmatinya. Aku suka dengan dunia yang aku ciptakan sendiri. Karena di sana aku bisa menangis dan tertawa tanpa ada yang bertanya, “Kamu kenapa ?” Entah kenapa aku benci orang-orang yang suka melibatkan dirinya pada hidupku. Aku bisa menuntaskan air mataku sendiri. Meski ada beberapa yang aku percaya untuk menyimpan permasalahanku. Tapi aku percaya, bagi mereka tangisanku hanyalah tangisan anak kecil yang meminta permen. Tapi perasaanku begitu rapuh, mudah patah bahkan hanya oleh angin sepoi.

Siang begitu terik hari ini, matahari seakan menghujamkan sinarnya ke bumi. Aku terbang di udara yang bising. Suasana begitu riuh, entah apa yang manusia-manusia itu ributkan, aku tak tahu. Dan tak ingin tahu. Maka aku terbang agak jauh dari tempatku. Mencari celah-celah kosong yang hampa, lalu mematikan segala akalku dan menghidupkan hatiku. Terkadang aku ingin tertawa, tapi saat tawaku berhenti yang kudapati hanya tetesan air mata. Karena itu, bagiku kebahagiaan tak dapat didapati, tapi kebahagiaan itu diciptakan oleh diri kita sendiri. Dan sejak itu, aku tak pernah lagi mengharap kebahagiaan pada orang lain.

Hingga di suatu pagi yang dingin. Saat jalanan beraspal yang telah banyak berlubang oleh truk pengangkut pasir tampak berkilat terguyur hujan semalam dan sisa-sisa air hujan itu masih menggenangi ceruk-ceruknya. Aku bertengger di bibir perigi, hendak menyapa sang surya yang sebentar lagi datang. Dari kejauhan kulihat suara yang begitu indah. Suara yang berat tapi bisa melengking indah. Lalu sosok itu muncul. Begitu gagah, begitu kuat, hingga membuat hatiku bergetar.

Siangnya ketika aku kembali ke kawananku, setelah sekian lama aku meninggalkan mereka. Tapi sepertinya mereka tidak sakit hati, mereka membiarkanku datang dan pergi begitu saja. Lalu aku bercerita, tentang makhluk gagah itu. Sejenak mereka diam lalu menatapku lekat-lekat. Seperti memastikan kalau aku masih waras. Hingga tawa mereka pecah. “Kau ini sudah gila rupanya! Kau tahu, yang kau maksud itu seekor rajawali,” kata salah satu dari mereka. “Sudahlah, sebentar lagi musim dingin, kita harus bermigrasi,” lanjutnya. Tapi diam-diam aku memisahkan diri dari mereka. Aku bersembunyi di balik karang. Sampai mereka semua terbang dan bunyi kelepaknya tak kudengar lagi. “Apa salahnya berharap cinta pada seekor rajawali?” pikirku.

Langit telah menjadi ungu ketika aku melihatnya lagi. Kuputuskan untuk mengikutinya ke sarang. Lalu aku tiba di sarangnya yang hangat, di celah sebuah tebing dekat pantai.

Berhari-hari kutunggu dia di sana. Di celah kecil dekat sarangnya. Berharap dia menemukanku atau aku yang menemukan dia. Karena aku tak mau betinanya tahu, kalau aku ada. Karena aku juga tak mempedulikan keberadaannya. Mungkin aku seperti hendak merebut milik orang lain, tapi aku punya alasan yang kuat. Aku kehilangan kawananku, atau aku yang menghilang dari mereka. Ah, tak penting juga kupermasalahkan, yang penting sekarang aku ada karena perasaan yang menuntunku.

Tiba-tiba aku mengantuk, seperti ada yang memanggilku di alam mimpi. Lalu aku melihat cahaya putih, tapi tidak semuannya putih, ada noda semu di sana, yang semakin lama semakin jelas. Mungkin noda itu aku, lalu cahaya putih itu adalah betina rajawali yang selalu setia menanti pejantannya. Mungkin suatu saat nanti, dia akan tahu, kalau ada aku yang juga menunggu pasangannya. Barangkali saat itu dia akan sakit hati, atau justru menertawakan aku. Namun, tiba-tiba ada hawa dingin yang menyusup ke dalam setiap helai bulu-buluku. Lalu semuanya menjadi putih. Aku pikir, aku masih bermimpi, tapi ternyata semuanya memang benar-benar putih. Salju telah turun dan aku tak yakin aku dapat bertahan. Sepertinya aku akan mati, mati bersama cintaku yang baru saja muncul. Kemudian, aku menutup kembali mataku, bersiap untuk tidur, mungkin kali ini untuk selamanya.

Saat aku bangun, aku melihat sesuatu yang berwarna kuning tepat di mataku. Lalu aku sadar, itu adalah paruh yang kekar, yang berwarna kuning mengkilat. “Kau hampir mati kedinginan tadi, maka kau kubawa ke sarangku,” ujarnya lembut. Kuamat-amati dia. Tubuhnya tampak lebih kecil. “Namaku Mercy, sebentar lagi pasanganku pulang, biar aku kenalkan padamu nanti,” sambungnya. Astaga! Jantungku terasa berhenti berdegup saat itu. Dia, dia yang seharusnya memusuhi aku justru menyelamatkan aku. “Seandainya kau tahu, apa yang ada di hatiku, mungkin kau langsung membunuhku tadi,” batinku.

Aku tak tahu apakah itu masih pagi, atau telah sore. Sebab matahari seakan sudah bermigrasi ke tempat lain. Ke tempat yang seharusnya aku ada bersama kawananku. Langit hanya berwarna putih, seperti susu yang membeku lalu menjatuhkan bunga-bunga esnya ke bumi. Dingin. Lalu tiba-tiba dia datang. Aku bisa merasakan bulu-bulunya yang dingin berbalut salju tipis. Lalu Mercy menyekanya dengan sayap kanannya, kemudian mereka berpelukan, seperti berbagi kehangatan. Aku memandang nanar sepasang makhluk yang sedang berbagi cinta itu. Aku cemburu.

“Sayang, ini Lea, aku menemukan dia di sebuah lorong di ujung tebing ini, dia hampir mati kedinginan tadi,” ujar Mercy pada makhluk gagah itu. Pejantan itu memandangiku lekat-lekat sembari mendekatkan moncongnya yang dingin dan tajam. Tapi aku bisa merasakan, ada kehangatan dan kelembutan di balik bulu-bulunya yang indah itu. “Namaku Leon,” bisiknya. Kurasakan nafasnya yang hangat mengalir masuk ke telingaku, menghangatkan setiap pembuluh darah di telingaku lalu meresap masuk ke dalam hati. Aku semakin menggilainya.

Kulihat langit mulai berangsur gelap. “Sudah malam, bermalamlah di sini,” ujar Mercy lembut. Ia seperti tahu apa yang kuharapkan. Lalu kami terlelap. Aku rasa, aku sedang memimpikan musim panas yang hangat. Sesekali tubuhku menggeliat, seolah menikmati mimpi itu. Perlahan kubuka mataku, memastikan kalau musim tak benar-benar berganti. Kulihat salju masih turun, tapi mengapa aku merasa begitu hangat? Astaga! Bulu-bulu itu ternyata benar-benar melingkupiku. Bulu yang begitu lembut dengan hembusan nafas hangat yang mengalun bagai simfoni yang bercumbu dengan angin malam. Aku rasa Leon tak sengaja melakukannya. Kulihat ia masih terlelap. Aku tak ingin membuat Mercy cemburu besok pagi. Aku takut dia bangun dan melihat suaminya memelukku seperti ini. Perlahan kupindahkan lengan kekarnya dari tubuhku, meski sebenarnya aku tak rela. Lalu aku kembali tertidur.

Saat aku bangun, aku tak lagi menemukan burung kekar itu. Hanya ada Mercy yang sibuk mengumpulkan semak-semak yang setengah beku di ujung sarang. Aku hanya memandanginya sesaat lalu memalingkan wajahku. Karena aku memang tidak peduli. Dia melakukan itu sepanjang hari. Lalu diam di situ sampai petang menjemput Leon untuk pulang. Aku tersenyum padanya saat ia menyelesaikan kepakan terakhirnya. Tapi sepertinya ia tidak peduli. Mata terus memandang heran isterinya. Perlahan ia mendekat, lalu Mercy mengangkat sedikit selangkangannya sambil tersenyum. Tampak Leon begitu terperanjat. Begitupun aku. Terlihat sebutir telur putih mengkilat tergeletak di situ. Segera pasangan itu berpelukan mesra. Aku memandang mereka lekat-lekat. Aku tak lagi cemburu, tapi aku merasa begitu berdosa. Aku ada di tempat ini hanya untuk merenggut kebahagiaan mereka. Aku terbelenggu dengan cintaku yang terlampau tinggi.

Tak lama setelah itu, aku merasakan aku sudah terbang menerobos hawa dingin yang begitu ekstrim. Aku tak tahu apa yang menggerakkan sayap-sayapku. Yang jelas, sekarang aku sudah pergi bersama perasaanku yang kupaksa pupus. Kulihat air mataku jatuh dan segera membeku berbaur dengan salju. Aku hanya berharap agar perasaanku juga cepat membeku bahkan mungkin bersama dengan tubuhku. Karena baru aku mengerti kalau cita berbeda dengan cinta. Cita dapat dikejar setinggi-tingginya, tapi cinta mencari yang sepadan.


Glitter Words
[Glitterfy.com - *Glitter Words*]
Category: 0 komentar

Izinkan Aku Membalas Kasihmu


Tubuhnya masih terlihat kekar, meski kulitnya telah keriput. Kerutan di wajahnya menandakan seberapa banyak ia meneguk pahit getirnya kehidupan. Sesekali matanya menatap jalanan penuh harap. Sepasang mata yang dulu pernah memancarkan semangat yang menyala-nyala. Kutatap tubuhnya lekat-lekat, sosok yang dulu pernah kusegani. Kulihat ia tak banyak berubah. Hanya ubannya yang semakin banyak, bahkan hampir seluruh rambutnya telah memutih. Perlahan aku mendekat, tapi sepertinya ia tak menyadari kedatanganku. Mungkin matanya telah rabun. “Pak,” sapaku. Lama ia memandangiku sampai akhirnya ia mengenaliku. “Lama kita tak bertemu, kukira kau sudah lupa padaku,” katanya. Aku hanya tersenyum, lalu ia menawarkan sepiring singkong rebus padaku. “Ternyata makanan kesukaannya masih sama,” pikirku. Setelah itu kami berbincang-bincang. Membicarakan masa-masa indah yang dulu pernah kami lalui. Saat aku pertama kali bertemu dengannya dan saat ia pertama kali menjabat tanganku. Ah, tangan. Sayang, kini sepasang tangan itu sudah tak ada lagi. Padahal aku begitu rindu dengan tangan-tangan itu. Tangan yang telah mengajariku banyak hal. “Kudengar kau sudah menikah dan punya anak? Sayang aku tak bisa mengajari anakmu seperti aku mengajarimu dulu,” ujarnya lirih. Aku ingin sekali menghiburnya, tapi aku tak bisa. Dadaku begitu sesak menahan air mata. Aku tak mau menangis di depannya, karena dulu aku sudah sering berbagi air mata dengannya. “Tak apalah, Pak. Jika nanti anakku sudah dewasa, aku yang akan mengajarkan padanya apa yang pernah Bapak ajarkan padaku,” kucoba menghiburnya, tapi air matanya justru berlinang. Aku hanya memandangnya heran, lalu ia membasuh air mata itu. “Kalau Bapak ingin menangis, aku siap mendengarkan tangisan Bapak, karena dulu Bapak juga selalu mendengarkan tangisanku,” kataku. Sejenak ia menatapku, lalu ia bercerita tentang kerasnya kehidupan yang telah ia jalani bertahun-tahun. “Tiga tahun semenjak kau lulus SMA, aku mengalami kecelakaan, aku terluka parah dan kedua tanganku diamputasi. Semenjak itu pula, aku berhenti mengajar. Isteriku mencari nafkah seorang diri dan anakku hampir putus sekolah. Lalu mantan kekasihnya datang, menawarkan cinta dan tubuh yang normal. Ternyata hatinya goyah, ia meninggalkanku dan membawa anak kami pergi. Pernah ia datang kemari dan memberiku sejumlah uang, tapi aku menolaknya. Aku merasa, aku bukan tanggungannya lagi karena kami telah resmi bercerai. Kulewati hari-hariku seorang diri, pernah aku mengemis di pinggir jalan saat sisa tabunganku mulai menipis. Akhirnya, para tetangga kasihan padaku dan mereka yang memberiku makan setiap hari. Tapi aku tak berputus asa, aku tak mau hanya menjadi benalu bagi mereka. Terkadang, mereka meminta pendapatku saat mereka punya masalah. Seolah-olah aku adalah orang bijak yang tak punya masalah. Padahal sesungguhnya masalahku jauh lebih besar daripada mereka,” kisahnya terbata. Kusembunyikan wajahku yang basah oleh air mata. “Hahahaha, ternyata kau bisa juga menangis karena aku,” guraunya. Aku begitu bangga padanya, sejak dulu ia memang pria tegar. Bahkan di saat seperti ini pun ia masih bisa tertawa. “Lalu anak Bapak? Dia pasti sudah besar sekarang,” tanyaku ragu. Aku takut membuatnya menangis lagi. “Setiap hari aku selalu berharap dia akan datang, tapi dia tak pernah datang. Barangkali telah lupa kalau pernah punya ayah seperti aku,” jawabnya. Aku tahu dia sedang menyembunyikan perih hatinya. Karena itu, tak kulanjutkan pertanyaanku.

Kulihat langit mulai jingga dan matahari berada di ufuk barat, aku segera pamit pulang sebelum rembulan datang. Sebelum aku pulang, aku janji padanya akan mengajaknya jalan-jalan besok. Aku tak menunggu jawabannya, karena aku takut ia akan menolaknya. Sepanjang jalan pulang, aku teringat semua yang dulu pernah kulalui bersamanya. Saat ia mengobrol denganku di sekolah, saat aku berebut buku dengannya di perpustakaan, dan saat kami pergi berdua, seperti layaknya kakak dan adik perempuannya. Waktu aku tiba-tiba pusing sehabis pelajaran olahraga, ia juga yang sibuk merawatku, seperti seorang ayah dengan anaknya. Ia selalu bisa menjadi apapun buatku. Terkadang ia menjadi kakak yang selalu membimbing adiknya, kemudian menjelma sebagai ayah yang selalu menjaga anaknya, lalu menjadi teman yang menemaniku saat aku kesepian. Seolah-olah kami tak pernah menganggap bahwa hubungan kami adalah murid dan guru. Semuanya terjalin dengan mesra, bahkan sampai aku lulus SMA. Sampai-sampai aku tidak pernah menyebutnya dengan kata “beliau” dan ia tidak pernah menyebutku “murid”. Jika kami pergi berdua, ia selalu katakan pada orang-orang kalau aku adalah anaknya. Dan orang-orang itu percaya, karena kami memang sangat akrab. Sayang, setelah kuliah di luar kota aku kehilangan komunikasi dengannya. Baru hari ini, kudengar dari salah seorang teman, kalau tempat tinggalnya masih sama seperti yang dulu.

Hari masih pagi ketika suamiku berangkat kerja dan aku mengantar anakku sekolah. Setelah semua tugasku sebagai isteri sekaligus ibu telah kutunaikan, kutepati janjiku yang kemarin. Ternyata, ia tidak menolakku, belum sempat aku memarkirkan mobilku, ia sudah siap di depan rumah. Kubukakan pintu untuknya, tapi ia justru menatapku sayu seperti meratapi cacat tubuhnya sampai membuka pintu mobil saja tak bisa. “Dulu Bapak yang selalu memboncengkanku dan mengatakan pada semua orang kalau aku adalah anak Bapak, sekarang aku akan membukakan pintu untuk Bapak dan mengatakan pada semua orang kalau Bapak adalah ayah saya,” ujarku. Pria itu tersenyum padaku, lalu aku membantunya naik mobil. Ia tidak bertanya apapun padaku. Seperti ia sudah tahu kemana aku akan membawanya. Saat mobilku berhenti, ia langsung tersenyum. “Mari, Pak saya bantu turun,” kataku sembari memegang tubuhnya, kurasakan otot-ototnya masih kuat, sama seperti dulu hanya kulitnya saja yang telah mengendur.

Aku membantunya menyeberang jalan dan kami berjalan menuju Pasar Seni, tempat yang dulu selalu kami datangi. Saat kami memasuki pasar, kulihat ada yang berbeda dari matanya. Mata yang tadinya sayu itu kembali bersinar, memancarkan kebahagiaan yang sedang ia rasakan. Tiba-tiba ia berhenti. Pandangannya tertuju pada para seniman yang menjajakan jasanya. “Dulu aku selalu melukis seperti itu, sayang semuanya telah kujual untuk membeli sesuap nasi,” katanya. Aku begitu iba padanya. Lalu kusuruh pelukis itu melukis wajah mantan guruku itu. “Jangan,” ujarnya tiba-tiba. “Jangan lukis aku saja, tapi lukislah aku dengan anak perempuanku ini,” katanya pada pelukis itu. Aku benar-benar terharu. Ingin rasanya aku menangis, setelah belasan tahun kami tak bertemu, ia masih menganggapku sebagai anaknya. Setelah lukisan itu jadi, aku hendak memasanganya di dinding rumah “ayah”ku itu. Tapi ia menolaknya. “Pasanglah di dinding kamarmu saja, jika sesekali kau rindu padaku, kau bisa memandanginya,” katanya. “Kalau aku rindu, aku kan bisa bertandang ke rumah,” sanggahku. Ia hanya tersenyum. Sebelum kami sampai di rumah, ia mengeluh kalau nafasnya sesak. Aku tawarkan obat asma, tapi ia bilang, ia tak punya penyakit asma. Kuajak ia ke rumah sakit, ia menolak. Lalu kuantarkan ia ke rumah, tapi aku lupa berjanji untuk menemuinya besok. Aku ingin kembali, sampai aku ingat kalau besok, aku harus mengantar anakku les matematika.

Sesampainya aku di rumah, kupasang lukisan itu di kamar. Tepat di sebelah foto pernikahanku. Sejenak kuamat-amati lalu aku tersenyum sendiri. Tiba-tiba telepon berdering. Ternyata mamaku ingin aku besok ke rumahnya, katanya ia mau buatkan kue kesukaanku.

Esok hari, kuhabiskan waktuku di rumah mamaku sambil menunggu jam pulang sekolah. Tiba-tiba handphoneku bergetar. “Halo, saya tetangganya Pak Badrun, saya mau mengabarkan kalau Pak Badrun meninggal tadi malam, saya menemukan nomor ini di sebelah tempat tidur, makanya saya menghubungi nomor ini,” kata si penelepon itu. Mendadak tubuhku gemetar. Aku segera ke rumah orang yang telah menganggapku sebagai anaknya itu. Orang tuaku ikut pula bersamaku. Sesampainya kami di sana, kulihat tubuh kekar itu telah kaku, wajahnya pucat, dan tangannya dingin. Aku menangis, benar-benar menangis. “Tadi pagi, waktu saya hendak mengantar makanan untuknya, Pak Badrun sudah seperti ini,” kata salah seorang tetangganya. Lalu kusiapkan pemakaman untuknya. Saat pusaranya mulai ditimbuni tanah, pikiranku melayang jauh menerobos batas-batas waktu. Dulu, saat pertama kali aku masuk SMA, orang tuaku yang mengantarku ke rumah Pak Badrun, sampai akhirnya kami berkenalan dan semakin akrab. Kini, orang tuaku pula yang mengantarkanku untuk mengucapkan selamat tinggal pada mantan guruku itu. Setelah prosesi pemakaman selesai, kutaburkan bunga di atas makam itu sembari berbisik,”Selamat jalan ayah, terima kasih atas semua ilmu yang pernah kau berikan padaku.” Lalu kuhapus air mataku, dalam hati aku bersyukur karena aku masih diberi kesempatan untuk membalas kasih yang pernah dicurahkannya padaku, meski hanya sehari.

Glitter Words
[Glitterfy.com - *Glitter Words*]
Category: 0 komentar

Maaf, Aku Telah Melukaimu


Sisa-sisa air hujan masih menggenangi jalan pulangku sore itu. Hawa dingin berhembus melewati celah-celah mantelku. Tapi aku tak mempedulikannya. Kupercepat langkahku untuk segera sampai ke rumah. Setibanya aku di rumah, aku mengunci diri di kamar. Kuhempaskan tubuhku yang terasa berat, tapi ringkih itu ke atas tempat tidurku. Perlahan kuambil handphone dari saku celanaku, hendak kulihat isi pesannya tapi aku takut. Aku takut kalau air mataku harus terjatuh lagi. Kuletakkan handphone itu di sampingku, kutata batinku, lalu kuberanikan untuk membaca pesan yang tertera di situ. Belum sempat aku membuka pesan itu, handphoneku sudah bergetar lagi. Dan lagi-lagi dari dia. Sepertinya dia memang tak mau dengar maaf dariku. Ingin aku membalas pesan itu, tapi aku tak berani, aku selalu takut dengannya, bahkan meski aku di pihak yang benar sekalipun. Aku memang seorang penakut, aku tahu itu, tapi sayang aku tak tahu bagaiamana mengubahnya. Setiap hari dia selalu sinis padaku, memusuhiku tanpa alasan yang jelas. Aku terluka, batinku begitu perih, tanpa aku tahu obatnya. Aku hanya bisa menangis. Hingga air mataku seakan mengajariku sesuatu. Mengubahku menjadi sosok yang tegar, kuat, dan bisa menghadapi persoalan. Semenjak itu, aku tak pernah lagi menangis, aku tak lagi takut menghadapi siapapun. Namun, masa laluku ternyata sangat mempengaruhi emosiku. Ia begitu labil, terkadang lembut, terkadang liar tak terkendali. Aku tak lagi mau diatur oleh orang lain. Karakterku menjadi keras dan terkadang memberontak.

Malam itu, aku terpaksa menangis. Bukan karena orang lain, bukan pula karena cinta. Aku marah dengan diriku sendiri. Aku jengkel dengan keadaanku. Aku putus asa. Mataku menerawang jauh ke angkasa, tapi tak ada yang merambati benakku, selain ingatan akan perkara-perkaraku yang lalu. Aku tak pernah bisa berdamai dengan emosiku. Dalam menghadapi setiap persoalan, aku tak pernah bisa tenang. Amarahku begitu mudah tersulut, sebelum aku sempat meredamnya. Aku tumbuh menjadi gadis temperamental dengan emosi yang liar tak terkendali. Entah sudah berapa banyak hati yang kecewa bahkan terluka karenaku.

Esok harinya, ternyata pagiku tak sehangat cahaya mentari yang terpancar menerobos tabir langit. Mona, orang yang dulu pernah menyiksa batinku kembali mengusikku. Aku tak menghiraukannya. Hanya diam, menahan emosiku yang mulai bergejolak. Sesekali aku ke kamar mandi, mencoba meredakan gejolak dadaku juga untuk membasuh air mataku. Air mata yang terjatuh bukan karena Mona, tapi karena menahan gejolak emosi yang semakin menjerat. Tapi tetap saja tak berhasil. Pada akhirnya kami bertengkar. Aku tak peduli ada berapa pasang mata yang melihat kami, semua terjadi begitu saja. Dan pada akhirnya, aku selalu menyesal atas apa yang tadi kulakukan.

Semenjak kejadian itu, aku sering melamun. Aku tak pernah bisa konsentrasi. Terkadang aku tersenyum sendiri, kemudian menangis tanpa sebab yang jelas. Banyak orang yang mulai membicarakanku, aku sangat tak nyaman dengan itu, tapi aku harus menerimanya. Hingga perasaan itu muncul, melunakkan segala yang keras dan mencairkan semua yang beku. Aku tak tahu bagaiamana ia bisa hadir. Namun yang jelas dia telah menyapa hatiku, menerangi selasar hatiku yang suram. Aku rasa, aku bisa melupakan sejenak persoalanku, karena pria itu benar-benar bisa memainkan emosiku. Pernah ia memberiku boneka beruang, tapi aku menolaknya. Karena aku takut, perasaan ini bukanlah cinta, hanya sebatas kagum yang suatu saat akan hilang.

Semakin hari, semakin aku belajar banyak hal, dia mengajariku untuk mengerjakan segala sesuatu dengan seimbang, tidak berlebihan dan tidak kurang. Hidupku mulai tertata demikian pula emosiku. Namun, sayang, di saat aku mulai bisa untuk menjalani kehidupanku dengan lebih baik, keadaan memaksa kami untuk berpisah. Aku tak tahu harus senang atau sedih. Yang pasti, ada sesuatu yang berdesir di hatiku saat ia mengucapkan salam perpisahannya padaku. “Aku harus pergi, ayahku ditugaskan di luar pulau,” itu perkataan terakhirnya padaku. Tak lama kemudian, Mona pun ikut pindah. Aku merasa hidupku begitu indah, tak ada lagi orang yang selalu menekanku, mencari masalah denganku. Tapi justru itulah yang memunculkan konflik baru. Kebahagiaanku membuatku menjadi liar, aku tak peduli lingkungan sekitarku, yang aku tahu hanya memuaskan batinku.

Semua itu kujalani dengan indah, sampai aku tahu, aku telah mengecewakan banyak orang. Mereka menganggap, aku tak lagi seperti dulu. Aku bingung, hatiku risau. Aku tahu aku terlalu berlebihan, saat aku diam, aku sering melamun. Saat aku bahagia, aku terlalu liar. Saat aku marah, emosiku meledak tak terkendali. Aku ingin kembali, tapi aku takut kejadian masa laluku akan terulang, aku ingin maju, tapi terlalu banyak mata yang menatapku sinis. Aku hanya bisa diam, karena aku memang sangat labil, sebab jiwaku memang sedang dilanda badai. Hanya bisa menanti sampai badai telah reda dan gerimis pun telah usai.

Glitter Words
[Glitterfy.com - *Glitter Words*]
Category: 0 komentar

Aku Hanya Sahabat Hatimu


Langit mulai redup ketika rembulan hendak bercengkerama dengan malam. Lampu-lampu kota mulai menyala memberikan nuansa kehangatan di setiap sudut kota. Namun Livia masih sibuk dengan pekerjaan, yang sebenarnya bukan pekerjaannya. Di sampingnya, duduk sahabatnya, Boy. Laki-laki itu terlihat serius mengamati setiap goresan pena Livia di buku tulis tebal bergaris warna-warni itu. Mereka tak saling bicara, hingga tak terdengar suara barang sedikitpun di ruangan itu. Hanya suara gesekan lembaran buku dan detik jam dinding. Waktu terus berlalu sampai mereka sadar kalau langit hitam telah bertabur kerlip bintang. “Sudah malam rupanya, aku harus pulang. Biarlah sampai segitu saja, tak usah sampai selesai,” kata pemuda itu sembari menarik bukunya perlahan. Livia diam saja, ia hanya melepaskan buku itu dari genggamannya sambil mengamati sahabatnya itu, lalu tersenyum kecil ketika ia pamit pulang.

Malam semakin larut dan suasana jalanan berangsur sepi. Livia belum tidur juga, ia masih sibuk dengan dunianya sendiri. Mengerjakan hal-hal sepele yang mungkin tak pernah terpikirkan oleh teman-temannya. Namun karena itulah cara berpikirnya begitu cepat dewasa. Tak ada yang tahu apa yang dikerjakannya ketika ia berjam-jam di kamar, sekalipun orang tuanya. Livia selalu punya kesibukan sendiri, ia jarang bergaul dengan teman-temannya dan ia tak pernah memusingkan hal-hal yang dianggap penting oleh teman-temannya. Termasuk tentang cinta. Di benaknya hanya terdapat sejuta design yang kreatif dan menakjubkan. Cita-citanya hanya satu, menjadi designer ternama. Sampai angin malam berhembus di dadanya. Memberikan rasa yang tak pernah ia rasakan.

Surya pagi mulai terpancar dari setiap celah langit pagi. Memberikan kehangatan bagi setiap insan di bumi. Menemani Livia yang telah duduk di bangku kayunya ketika teman-temannya belum datang. Sesekali ia keluar kelas, lalu kembali lagi. Seperti ada yang mengganjal di hatinya. Beberapa menit berlalu hingga terlihat sosok yang mengusik hatinya. “Boy!,” pekiknya. Hampir setiap hari hal itu terulang, tapi seperti ada yang berbeda hari itu. “Biasanya kau diam saja kalau aku datang,” ujar pemuda itu heran. Livia diam saja, ia justru menyembunyikan pandangannya. Sepertinya ia takut kalau sepasang bola mata mereka bertemu, karena ia tahu ada rasa yang berbeda muncul di hatinya.

Hari itu terasa begitu cepat bagi Livia, tak terasa mentari telah bersinar begitu terik dan jam pelajaran telah usai. Seperti biasanya, Boy menanti di depan gerbang sekolah untuk bertemu dengan Livia sebelum pulang. Siang itu, Livia sengaja menyempatkan diri untuk mampir ke rumah Boy yang baru. Selain itu, ia juga ingin memastikan rasa yang terus merongrong batinnya itu. Sudah hampir setengah jam mereka berjalan, menapaki tanah tandus dan debu kota yang kian tebal. Sesekali tercium bau amis sampah dan anyir jembatan kota. Jalanan kumuh dan aspal yang telah berlubang jadi saksi bisu perjalanan mereka. Sesekali Livia mencuri pandang pada Boy, tubuhnya terlihat semakin kurus dan kulitnya semakin hitam. Hati gadis itu bergetar, seperti ada nyanyian iba melantun di hatinya. Jalan semakin sempit ketika mereka sampai di rumah Boy. “Ini Liv, rumah baruku,” ujarnya. Livia diam saja, hanya memandang nanar bangunan itu.

Livia masih tercengang ketika ia memasuki rumah itu. Di ruang tamu, masih terpampang foto ayahnya. Laki-laki yang telah menelantarkan Boy dan ibunya demi wanita lain. “Di mana ayahmu, Boy?” pertanyaan itu keluar begitu saja tanpa gadis itu sadar. “Di rumah mewahnya, bersama isteri barunya,” suara pemuda itu bergetar, menyiratkan luka yang menganga di dadanya. Kemudian ia masuk ke dalam sejenak, lalu keluar bersama sekotak kado kecil. Diam-diam Livia tersenyum, ia merasakan kalau rasa yang mengusiknya bukanlah cinta, hanya sebatas iba terhadap kondisi sahabatnya. Tapi sayang, baru beberapa menit ia yakin rasa itu bukan cinta, keadaan memaksanya untuk kembali ragu. “Lagi-lagi dia menolak pemberianku, Liv,” ujarnya sembari menunjukkan kotak kecil itu.

Siang itu, bukan kali pertama Boy bercerita tentang kisah asmaranya. Dan bukan kali pertama pula Livia melihat air mata Boy mengalir karena gadis lain. Tapi kali ini ada yang berbeda. Biasanya dengan mudah Livia menghiburnya, membantu mendekatkan sahabatnya itu dengan gadis pujaannya, tapi tidak hari itu. Hati Livia begitu perih mendengar sahabatnya itu masih menaruh perasaan pada seorang gadis. Dalam hati ia berbisik, supaya gadis itu tak mau menambatkan perasaannya pada Boy. Buru-buru Livia pamit pulang sebelum Boy menyadari sikapnya yang berubah.

Hari demi hari berlalu, Livia selalu menghindar jika Boy mau bercerita tentang gadis pujaannya itu. Ia takut kalau suatu saat ia harus melepaskan sahabatnya itu untuk gadis lain. Hingga suatu hari, Livia sadar kalau cintanya hanya mimpi di siang hari yang tak akan jadi nyata. Perlahan ia melupakan sahabatnya itu, merobek-robek gambar pemuda yang tersimpan di hatinya itu. Sampai ada kumbang lain yang menghinggapinya. Saat itu, Livia mulai belajar tentang cinta. Bersama Leon ia belajar arti sebuah hubungan. Saat itu pula, ia menerima surat cintanya yang pertama.

Perlahan gadis itu membuka amplop merah jambu dengan wangi parfum semerbak mengalun. Ia sudah tak sabar membacanya. Namun itu bukan dari Leon, melainkan Boy.

Dear Livia,

Aku hanya ingin menyampaikan apa yang seharusnya sejak dulu aku sampaikan. Sebenarnya aku tak pernah menganggapmu sebagai sahabat, melainkan lebih dari itu. Aku selalu mencoba melupakanmu dengan menaruh hati pada gadis-gadis lain, tapi tak ada yang sepertimu. Aku tahu aku tak pantas untukmu, karena itu, aku memendam perasaan ini, biarlah aku melepasmu daripada harus membawamu ke dalam penderitaanku. Maaf kalau aku terlalu pengecut untuk mengatakan ini langsung padamu, tapi percayalah, wajahmu memang pernah menghiasi dinding hatiku. Jadi, kuucapkan selamat atas hubunganmu dengan Leon, aku yakin dia lebih bisa membahagiakanmu. Terima kasih karena kau selalu ada untukku dan untuk tugas-tugasku, maaf kalau aku selalu merepotkanmu. Sebenarnya, bukan karena aku tak bisa mengerjakannya tapi karena aku begitu rindu melihat jemarimu menari di atas buku tugasku. Sekali lagi, terima kasih “sahabat hatiku”.

Boy


“Aku juga,” bisik Livia dalam hati.

Esok harinya, ia sempatkan berkunjung ke rumah Boy, dilihatnya tubuh pemuda itu lekat-lekat. Tubuh yang pernah menggetarkan hatinya, tapi sekarang rasa itu telah hilang, benar-benar hilang.

“Kau sudah baca suratku?”
“Sudah, aku...”
“Aku tahu, kau akan kuliah di luar negeri, kan?”
“Iya”
“Ya sudah, aku tahu kau akan lebih baik dengan Leon, dia orang cerdas, sama sepertimu”
“Tapi kau...”
“Tak apa-apa, biarlah kau bahagia aku juga pasti akan bahagia”
“Kau janji?”
“Janji apa?”
“Kalau kau akan bahagia?”
“Semoga...”
“Besok aku dan Leon berangkat ke Aussie”
“Pergilah, buktikan padaku kalau kau bisa jadi designer handal, seperti yang selalu kau ceritakan padaku dulu”
“Boy, aku...”
“Sudahlah lupakan aku, aku hanya serpihan kecil dari kehidupanmu”

Perlahan Livia meninggalkan tempat itu, dari kejauhan ia melihat sahabatnya itu tersenyum, ia begitu ikhlas mengorbankan perasaannya. Pemuda yang telah mengajari Livia tentang tulusnya cinta dan indahnya persahabatan.

Glitter Words
[Glitterfy.com - *Glitter Words*]
Category: 0 komentar

Brenda


Hari mulai sore ketika semburat merah jingga mulai berpadu dengan ungu menggantikan langit biru kala itu. Aku masih berjalan menyusuri gang sempit diantara kawasan padat penduduk yang kian kumuh. Hingga langkahku terhenti, bersamaan dengan cahaya mentari yang telah redup. Sepasang mata cokelat yang berkilat-kilat menatapku dalam-dalam. Aku pun membalas tatapannya, hingga dua pasang bola mata kami berpadu, menghasilkan hawa sejuk yang berhembus di hati kami. Tak lama berselang, ia mulai menghampiriku. Menatapku ragu, aku terduduk di jalanan aspal, kemudian meletakkan kepalanya di pahaku. Lalu aku berdiri, setelah beberapa saat “bercinta” dengannya. Tapi ia terus mengikutiku sampai ke ujung gang. Aku menoleh padanya sembari mengangkat tubuhnya dan membawanya ke tempat di mana kami saling bertemu. Baru beberapa detik aku meletakkannya, terdengar suara wanita separuh baya berteriak-teriak. “Sudah kubilang, jangan kembali kemari! Rumahku sudah penuh dengan gonggonganmu yang sangat mengganggu!” marahnya. Anjing kecil itu menatapku. Tapi tatapannya telah berubah, bola mata cokelatnya tak lagi bersinar terang, sinarnya perlahan redup bersamaan dengan ekornya yang tak lagi berdiri tegak. “Rupanya kau dibuang?” tanyaku. Ia menjilati tanganku seakan sebagai tanda kalau ia siap menjadikanku sebagai “tuannya” yang baru. Kuangkat tubuh mungilnya sambil melanjutkan langkahku, di jalan aku berpapasan dengan wanita muda yang sepertinya mengenal anjing itu. “Kau mau merawatnya?” tanyanya padaku. “Iya,” jawabku singkat. Kemudian ia mengelus lembut kepala anjing itu. “Kasian anjing ini, sudah seminggu yang lalu ia dibuang oleh majikannya, di siang hari, ia selalu melongok di depan pintu untuk mendapatkan secuil roti atau sepotong ikan teri, di malam hari ia tidur di depan rumah majikan yang telah membuangnya. Syukurlah, kalau sekarang ia sudah punya majikan baru,” ujarnya lirih. Aku tersenyum padanya, lalu menatap anjing itu. “Kau tahu, siapa namanya?” tanyaku. “Ia belum diberi nama,” jawabnya. Kupandangi lagi anjing itu sambil kubelai bulu cokelatnya yang halus. “Mulai sekarang, aku akan memanggilmu dengan nama, Brenda,” kataku. Anjing itu menyalak dan sepertinya dia suka nama itu.

Waktu terus berputar dan Brenda telah tumbuh besar. Setiap hari kami bermain bersama, bahkan tidur bersama. Ia selalu membangunkanku setiap pagi dan aku tak pernah lupa memberinya sarapan. Aku tahu, dia bukan anjing ras dan makanannya pun tak seperti anjing-anjing mahal. Pernah sekali kuberi biskuit anjing yang cukup mahal tapi ia hanya mengendusnya sekali lalu meninggalkannya. Ia suka semua jenis makanan manusia, terutama daging ayam dan daging sapi. Namun, ia tidak akan melahapnya jika hanya direbus, seperti yang kubilang tadi, daging itu harus dimasak dan dibumbui seperti layaknya makanan manusia. Aku justru senang melihatnya. Itu tandanya ia sangat bersahabat dengan manusia. Hari-hariku terasa sangat menyenangkan hingga suatu hari dimana aku harus berpisah dengannya.

Waktu tiga tahunku terasa begitu cepat dan hari ini aku harus ke Surabaya untuk tinggal selama empat tahun. Hari-hari pertamaku selalu diliputi bayang-banyang Brenda. Aku hanya bisa pulang setahun sekali karena jadwalku begitu padat bahkan pada liburan akhir semester. Di tahun pertama aku pulang, Brenda masih baik-baik saja. Begitupun untuk tahun-tahun berikutnya. Sampai pada tahun ketiga ia sudah mulai sakit-sakitan. Aku pikir sakitnya tak begitu parah karena ia masih mau makan dan diajak bermain. Karena aku khawatir dengan keadaannya, enam bulan berikutnya kusempatkan untuk pulang, kulihat tubuhnya semakin kurus dan matanya sering berair. Aku bawa ia ke dokter dan ia hanya diberi vitamin untuk meningkatkan nafsu makannya. Hingga dua bulann sebelum aku mengikuti wisuda, sakitnya kambuh lagi dan yang ini cukup parah. Ia tidak mau makan dan berjalan pun sulit. Saat kubawa ke dokter, kondisinya sudah drop. Aku sudah mengikhlaskan jika ia akan pergi untuk selamanya, tapi ia masih bertahan. Sampai aku sukses menjadi sarjana, ia masih setia menungguku, dan menjilati tanganku saat aku mengelusnya. Tiba-tiba ia melihatku yang masih memakai baju togaku, kemudian ia menyalak sekali sambil menggerakkan ekornya yang telah lemas. Lalu ia menutup matanya perlahan dan nafasnya terhenti. Ia mati setelah melihatku menjadi sarjana dan memberiku ucapan selamat untuk yang terakhir kalinya. Saat itu kedua kakiku terasa begitu lemas dan aku menunduk, mengelusnya untuk yang terakhir kalinya dan meneteskan air mataku untuk sahabatku yang selalu setia. Kuangkat tubuhnya yang telah kaku, mengingatkanku pada saat pertama kali aku menggendongnya. Kukuburkan dia di sudut pekarangan, lalu kuhapuskan air mataku.

Sebulan berselang, dan aku mulai disibukkan dengan pekerjaan baruku. Dan lelaki yang tiga tahun belakangan ini telah mengisi hatiku pun mulai sibuk dengan pekerjaannya pula. Namun, di sela-sela kesibukan itu, kusempatkan beberapa menit waktuku untuk mengenang Brenda. Karena sampai sekarang, aku masih menantikan datangnya Brenda-Brenda lain yang mungkin dapat bermain bersama anak-anakku kelak.


Glitter Words
[Glitterfy.com - *Glitter Words*]
Category: 0 komentar